Selasa, 18 Februari 2014
TAREKAT; JALAN MENUJU TUHAN
Berbicara tentang tarekat sebagaimana firman Allah swt di dalam
al-Qur'an surat al-Jin/72: 16; Artinya: “Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di
atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka
air yang segar (rezki yang banyak).”
Perkataan tarekat dalam ayat tersebut di atas menunjuk kepada agama
secara keseluruhan, bukan hanya suatu wujud atau institusi keagamaan seperti
yang kita kenal sekarang sebagai “tarekat”.
Secara harfiah, tarekat berarti jalan, sama makananya dengan
syari’ah, yaitu jalan setapak menuju oase yang dalam bahasa Arab istilahnya
disebut sebagai jannah yang biasa diterjemahkan sebagai surga. Bagi orang
di daerah padang pasir, oase adalah lambing kehidupan yang paling ideal karena
suatu kehijauan di tengah kegersangan yang luar biasa. Jalan setapak menuju
oase itu, disebut syari’ah, dan kemudian dipakai sebagai metaphor, agama adalah
jalan menuju kebahagiaan, menuju surga. Ada banyak kosakata yang dapat
diartikan dengan jalan, misalnya sabil, manhaj, atau minhaj, suluk atau maslak,
nusuk atau mansak. Agama memang selalu digambarkan sebagai jalan sama dengan marga
atau dharma dalam bahasa Sansekerta atau Tao dalam bahasa Cina.
Dalam perkembangannya,
karena ada tekanan-tekanan dalam apresiasi keagamaan dan sesuai dengan
perkembangan sejarah, istilah-istilah tersebut mengalami sedikit pergeseran
makna. Seperti syrai’ah yang lebih menunjuk kepada jalan yang bersifat lahiri, hukum,
dan thariqah menjadi lebih bersifat batini.
Al-Qur'an banyak
menggunakan air sebagai symbol kehidupan. Kata “ma’an ghodaqo” artinya air yang
melimpah dalam firman di atas berarti kehidupan bahagia, lahir dan batin. Dalam
sistem agama lain, air juga digunakan sebagai symbol kehidupan, seperti
digambarkan dalam cerita tentang Nabi Musa yang mau bertemu dengan Nabi Khidir.
Ketika Nabi Musa ditanya oleh para pengikutnya tentang siapa yang lebih hebat
dari dirinya, ia menjawab tidak ada. Mendengar kesombongan Nabi Musa ini, Tuhan
marah dan berkata, “Ada yang lebih hebat dari kamu!” “Dimana Dia?” “Cari saja
di tepi laut!”.
Ketika Nabi
Musa mencari dan beristirahat di sebuah batu, bekal ikan yang sudah digoreng
ternyata hidup kembali dan masuk ke dalam laut. Hal ini seperti diceritakan
dalam surat al-Kahfi/18: 60-82:
“Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya[1]:
"Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah
lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". Maka tatkala mereka
sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu
melompat mengambil jalannya ke laut itu Maka tatkala mereka berjalan lebih
jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita;
Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". Muridnya
menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu
tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak
adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu
mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". Musa berkata:
"Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami[2]
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan
sanggup sabar bersama aku. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang
kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa
berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar,
dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". Dia berkata:
"Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". Maka
berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr
melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya
kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu
kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata:
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Musa
berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala
keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata:
"Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang
lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". Khidhr
berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak
akan dapat sabar bersamaku?" Musa berkata: "Jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan
aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". Maka
keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding
rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata:
"Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". Khidhr
berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan
mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. dan Adapun anak muda
itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan
mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. dan Kami
menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang
lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada
ibu bapaknya). Adapun dinding rumah
adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta
benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh,
Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
Cerita di atas sering
dipandang sebagai cerita konflik atau ketegangan antara lahiri yang tidak
sanggup menerobos orintasi batin. Maka pencerahan yang dimaksud adalah dalam
arti penembusan batas, ibrah, I’tibar, tingkah laku atau tindakan menyebrang. Maksudnya,
orang mestinya tidak berhenti pada aspek lahiri tetapi mencoba memahami apa
yang ada disebelahnya. Hal demikian penting mengingat agama sebenarnya
merupakan sistem symbol; orang baru akan mengerti dengan benar jika sanggup
menyebrangi symbol-simbol itu.
“Dia-lah
yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama[3][1463].
kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa
benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka
Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr/59: 2) “Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut/29: 43)
Sebagai wawasan
pencerahan, dalam tarekat zikir itu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Zikir
sebenarnya adalah seluruh tingkah laku kita yang berhubungan dengan Tuhan. Itulah
sebabnya mengapa zikir yang paling baik adalah zikirnya alam raya meskipun kita
tidak memahaminya.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,
tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra/17: 44)
Bertasbihnya bumi,
langit, dan seisinya kepada Tuhan menunjukkan bahwa sebenarnya zikir merupakan
suatu pekerjaan yang sangat alami karena merupakan bagian dari kebaktian. Itulah
kenapa Ahmad Hasan dalam kitabnya Al-Furqan selalu menterjemahkan takwa dengan
bakti.
“Dan
(ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu
naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (dan
Kami katakan kepada mereka): "Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami
berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di
dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang berbakti". (QS. Al-A’raf/7:
171)
Keterikatan manusia
dengan Tuhan melalui perjanjian primordial sebelum lahir, secara alami menuntut
manusia untuk berbakti. Pengakuan Tuhan sebagai rabb berkonsekwensi pada
bakti kita kepada-Nya meskipun pengakuan tersebut terjadi dalam alam ruhani
yang berarti kita tidak menyadarinya. Jangankan yang ruhani, yang nafsani saja
sebagian besar kita tidak sadar. Dan hampir sebagian besar dari hidup kita
ditentukan oleh yang tidak sadar ini.
[1]
Menurut ahli tafsir, murid Nabi Musa a.s. itu ialah Yusya 'bin Nun.
[2]
Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud
dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan
ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan
ayat-ayat berikut.
[3]
Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah orang-orang Yahudi Bani
Nadhir, merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah.