Selasa, 30 April 2013
FENOMENA KERUSAKAN MORAL
Akhir-akhir
ini, lewat mass media, televisi maupun media elektronik lainnya, kita disuguhkan
oleh pemberitaan hal ihwal yang berkaitan dengan kerusakan moral dan akhlak
yang melanda bangsa Indonesia. Betapa moral dan akhlak individu bangsa ini,
dengan tidak bermaksud megeneral persoalan, telah sampai ke titik nadir yang
sangat menguatirkan.
Lewat
berita di TV, seorang ayah tega menghamili anak kandungnya sendiri. Di Jakarta, seorang guru melakukan pelecehan
seksuil kepada siswi-siswinya. Staf Dirjen Pajak tertangkap tangan oleh KPK
sedang menerima suap. Para mantan jendral seakan menunggu giliran untuk masuk
“hotel prodeo” KPK. Para pejabat eksekutif dari level menteri sampai pejabat
esselon masuk ke lembaga pemasyarakatan. Para legislatif dari tingkat pusat
sampai daerah “antri” masuk “pesantrennya” KPK. Apa sesungguhnya yang sedang
terjadi dengan bangsa ini, jika dikaitkan dengan aspek akhlak dan moral bangsa?
Para
orang tua, gamang, lembaga pendidikan yang seharusnya melahirkan para generasi
penerus bangsa, malah sebagiannya, telah menjadi perusak moral, akibat dari
segelintir oknum praktisi pendidikan.
Para pembuat kebijakan, eksekutif dan legislatif dari daerah sampai pusat, seakan
berlomba melakukan korupsi yang dampaknya tidak hanya melemahkan bangsa tetapi
juga memiskinkan negara, uang yang seharusnya digunakan untuk sebaik-baik
kemakmuran rakyat Indonesia, dikorupsi secara beramai-ramai dan berjamaah,
sehingga menimbulkan kemiskinan sistemik. Para mantan jenderal yang seharusnya
menjadi contoh kebaikan oleh para anak
buahnya, malah mengajari bagaimana caranya berkorupsi. Para remaja usia
produktif dari tingkat satuan pendidikan menengah atas sampai perguruan tinggi,
terjebak pada narkoba, dan pergaulan bebas. Masyarakat antar kampung di
daerah-daerah, terperangkap dalam tawuran massal yang akibatnya tidak sedikit
yang tewas dari tawuran massal tersebut dan mati sia-sia. Dan dengan tiba-tiba
saja, para ibu rumah tangga tercengang-cengang dengan kenaikan harga bawang
yang melangit dan menghilang dipasaran. Belum lagi masalah syirik dan
kemusyrikan yang hampir melanda sebagian besar masyarakat Indonesia.
Indikasi-indikasi
di atas, seakan menguatakan tesis, bahwa moral bangsa ini telah sampai ke titik
nadir yang paling menguatirkan. Moral dan akhlak sebagai perisai bangsa telah
terkoyak-koyak berbagai macam kepentingan syahwat duniawiyah. Demi kepentingan
duniawi, manusia melakukan apa saja hatta cara yang haram pun mereka
lakukan. Atas nama kepentingan individu dan
kelompok telah begitu mendominasi sendi-sendi kehidupan kita. Padahal
para founding fathers pendiri negara ini, dahulu mereka bersatu
membulatkan tekad untuk merdeka, bebas dari unsur tekanan pihak asing, dan
menciptakan kemandirian ekonomi Indonesia yang berdaulat. Tetapi, hampir kurang
lebih 68 tahun Indonesia merdeka, ketergantungan kepada pihak asing semakin
hari semakin menguat. Tidak ada bahan komoditi di Indonesia yang tidak
bergantung dari “kemurahan” negara luar. Bawang, kita bergantung dari India.
Beras, kita bergantung dari Tailand. Bahan bakar, kita bergantung dari Amerika
Serikat. Kebutuhan bahan-bahan Sembako, kita bergantung dari negara-negara
Asean.
Melihat
fenomena di atas, maka Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 96 begitu relevan, dengan
kondisi kekinian yang melanda bangsa Indonesia ini. Allah swt berfirman:
“Jikalau
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al-A’raf (7): 96)
Berdasarkan
ayat di atas, kunci untuk sebuah negara aman dan sejahtera sesungguhnya di
awali dari kemampuan negara untuk memenej rakyatnya, dengan cara
menumbuhkan dan menguatkan sikap keberagamaan dikalangkan rakyat. Berikan
kewenangan pendidikan untuk madrasah yang seluas-luasnya yang gampang diakses oleh
semua lapisan masyarakat. Jika rakyat sebuah negara memiliki kesadaran
untuk beriman dan betaqwa kepada Allah dengan
sebenar-benarnya taqwa dan keimanan yang benar, maka Allah akan menurukan
keberkahan dari langit dan menumbuhkan
kemakmuran di bumi berupa hasil tanaman dan tumbuhan-tumbuhan yang berlimpah.
Dalam
konteks di atas, kita harus kembali merefleksikan
ajaran dan pemikiran Rasulullah saw tentang akhlak dan moral ini, yang
diawali dari diri kita sendiri. Allah swt
berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab (33): 21).
Akhlak
dan moral sering dimaknai sebagai kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu
perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Sedangkan moral
sering diartikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Maka berakhlak dan
bermoral adalah dua sisi mata uang, yang menjadi bagian integral dari kehidupan
kita sehari-hari, sebagaimana pesan Rasulullah saw: “Sesungguhya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak.” Maka pendidikan moral dan akhlak sudah
seyogianya menjadi pelajara wajib, baik di sekolah satuan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Jika dalam
bertindak, kita mengedepankan aspek akhlak dan moral, atau menjunjung tinggi
keduanya, maka akan tercipta keharmonisan di dalam berkehidupan berbangsa dan
bernegara.
Apa
yang kita saksikan lewat pemberitaan di TV, surat kabar, dsb. Sesungguhnya
menunjukkan fenomena gunung es, hanya puncaknya saja yang terlihat tetapi
sesungguhnya di dasarnya jauh lebih
besar dan dahsyat. Maka marilah kita
mulai dari diri sendiri, keluarga, dan masyarakat kita, untuk mewujudkan
keluarga dan masyarakat di mana kita tinggal, adalah benar-benar masyarakat
yang mencerminkan nilai-nilai moral dan akhlak yang baik.
Akhlak menurut Ibn Miskawaih, dalam kitabnya, Tahzibul Akhlaq
wat Tath-hirul A’raq, sesungguhnya bisa mengalami perubahan, karena
keberadaan manusia bergantung kepada kehendak Allah swt. Akan tetapi
perbaikannya diserahkan kepada manusia sendiri dan bergantung pula pada
kemauannya sendiri. Dengan kata lain, akhlak itu bisa dirubah karena ia
termasuk kategori Al-Muktasabat (masalah yang diusahakan). Dalam konteks
ini, Imam Al-Ghazali membagi manusia menjadi 4 (empat) macam: Pertama, Al-Insanul
Ghulf (orang-orang yang lengah), yaitu orang yang tidak dapat membedakan
antara kebenaran dan kepalsuan, orang seperti ini, lugu-lugu saja sejak
lahirnya. Akhlak seperti ini justru cepat menerima perubahan. Kedua, mereka
yang mengetahui keburukan dari yang buruk, tetapi tidak berusaha menjauhkan
diri darinya, bahkan terbiasa berbuat buruk. Perbaikan akhlak orang demikian
sulit untuk dirubah dibandingkan kelompok pertama. Ketiga, mereka yang meyakini
bahwa perangai buruk sebagai perangai yang baik. Mereka memperturutkan perangai
yang tercela dengan sepenuh hati. Akhlak semacam ini sangat sulit untuk dirubah. Keempat, mereka yang meyakini baiknya
perbuatan jahat dan melakukannya, mereka beranggapan, semakin mereka berbuat
jahat semakin cepat maasyhur. Kelompok ini adalah kelompok yang paling bengal
dari ketiga kelompok sebelumnya. Orang-orang yang berada pada tingkatan pertama
disebut orang bodoh (atau jahil), tingkatan kedua disebut orang bodoh
dan sesat (atau jahil wad Dhal), tingkatan ketiga disebut orang bodoh,
sesat dan jahat atau jahil (atau jahil wad Dhal wal fasiq), tingkatan
keempat, adalah tergolong orang bodoh, sesat, jahat, dan keji (atau jahil
wad Dhal wal fasiq wa syarir).