Selasa, 30 April 2013
PUASA DAN SEMANGAT PENGORBANAN
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.30:30).
Hari ini kita berada di hari yang
istimewa dan di bulan yang istimewa. Ada 2 (dua) keistimewaan pada hari ini. Keistimewaan
yang pertama, hari ini kita berada di penghujung akhir bulan suci ramadhan.
Beberapa hari ke depan, kita akan ditinggalkan oleh bulan yang sangat istimewa
ini. Bulan yang di dalamnya ada ‘lailatul qadar’ sebuah peristiwa besar yang
selalu menjadi perhatian khusus bagi umat islam yang sedang berpuasa ini, yang
nilainya lebih baik dari seribu bulan. Bulan yang di dalamnya ada pengampunan
Allah yang begitu besar bagi siapa saja yang disegerakan bertobat kepada Allah
swt. Bulan yang di dalamnya Allah ganjar orang yang berpuasa masuk ke syurga
melewati ‘babur rayyan’ (pintu khusus bagi mereka yang berpuasa). Bulan yang di
dalamnya Allah turunkan Al-Qur’an mukjizat terbesar yang dimiliki oleh
Rasulullah saw. Bulan ramadhan adalah bulan yang penuh dengan curahan rahman
dan rahimnya Allah sw
Ketika kita ditinggalkan oleh
seseorang yang selalu kita rindukan kehadirannya. Ketika seseorang pergi
meninggalkan kita, ada bekas kesedihan akan keberangkatannya dan ada kerinduan
yang begitu menusuk kalbu ketika memori kita mengingatnya. Inilah bulan
ramadhan, yang kehadirannya selalu kita nantikan, yang membayangkannya, akan
menimbulkan kerinduan yang begitu menusuk kalbu setiap orang yang beriman.
Ramadhan akan segera berlalu, kita tidak bisa meramalkan, apakah di tahun depan
kita bisa berjumpa kembali dengan ramadhan seperti tahun ini? Apakah di tahun
depan kita bisa bermesraan kembali dengan ramadhan seperti tahun ini? Siapa
yang bisa menjamin umur kita akan sampai di tahun depan dan berjumpa kembali
dengan ramadhan yang selalu kita
rindukan ini. Kita merindukan sholat-sholat berjama’ah di bulan ramadhan, kita
merindukan tadarrus Al-Qur’an di dalam masjid tercinta ini bersama dengan
kawan-kawan kita, kita merindukan bangun malam dalam ramadhan sambil beruraian air mata kita, mengingat
dosa-dosa masa lalu kita yang menumpuk bak gunung-gunung di atas permukaan
bumi. Siapakah yang bisa menjamin umur kita akan sampai di tahun depan dan
berjumpa kembali dengan ramadhan ini.
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang
waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula)
memajukannya. (QS. 7:34)
Puasa yang sedang kita jalani
ini, sesungguhnya adalah cara lain dalam merestat default personality kita (mengembalikan jati
diri kita ke posisi normal sejak pertama kali kita dilahirkan dari rahim ibu
kita masing-masing). Alam dunia yang kita sedang jalani ini, ibarat tempat bermain kita.
“Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan
senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang
yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?.” (QS.6:32)
Dulu ketika kita masih kecil,
kita sering keluar rumah bermain-main di halaman, dan di lapangan luas bermain
bola dengan teman-teman sebaya kita waktu itu. Bahkan ketika hujan turun dengan
derasnya, tidak mengahalangi keceriaan kita bermain bersama dengan teman-teman
kita. Dan ketika kita kembali ke rumah, seluruh tubuh kita penuh dengan debu
dan kotoran-kotoran, lalu kita pun mandi membersihkan tubuh kita dengan sabun
mandi dan air yang bersih, sehingga kita terbebas dari kuman-kuman yang hinggap
di badan kita sewaktu kita bermain dulu. Puasa ramadhan ibarat air bersih yang
membersihkan seluruh kotoran (dosa) yang
terdapat di tubuh kita. Sebagaimana diberitakan dalam salah satu hadis: “Siapa
orang berpuasa di bulan ramadhan karena iman dan mengharap keridhaan Allah,
Allah akan ampuni segala dosa-dosanya yang terdahulu yang telah dilakukannya.”
من صام رمضا ن
ايمانا واحتسا با غفر له ما تقدم من ذنبه –الحد يث
Maka ketika ‘idul fitri tiba,
sering kita bermaaf-maafan sambil tidak lupa mengucapkan ‘minal ‘aidin wal
faizin kullu ‘amin wa antum bi khair.’ Ucapan ini bermakna doa, semoga kita
kembali ke jati diri kita yang sesungguhnya sebagaimana manusia yang pertama
kali dilahirkan dalam rahin ibu kita. Sebagaimana hadis Rasulullah saw:
كل مو لود يو
لد على الفطرة فاءبواه يهودانه
او يمجسانه او ينصرانه
“Setiap anak dilahirkan sesuai
dengan fitrahnya, maka orang tua nya lah yang menjadikannya Yahudi atau Majusi
atau Nasrani.” (Al-Hadis
Secara fitrah, manusia itu
mencintai kebenaran, secara fitrah, manusia itu membenci kemunkaran, dan secara
fitrah, manusia itu merindukan zat yang telah menciptakannya yaitu Allah Azza
wa Jalla. Puasa yang kita jalani sekarang ini, sesungguhnya akan merestat ulang
kepribadian kita yang telah dikotori oleh lingkungan di mana kita berada.
Dosa-dosa yang kita lakukan, akan kembali normal, dan kita akan terlahir
kembali dalam kefitrahan manusia yang sesungguhnya, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Allah.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.30:30).
Keistimewaan yang kedua, akhir ramadhan kali ini
bertepatan dengan peristiwa penting yaitu proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia, 17 Agustus hari ini bertepatan dengan kita sedang berpuasa. Seluruh
elemen masyarakat merayakan kemerdekaan Indonesia dalam suasana khusyu
berpuasa, maka mereka merayakannya dengan kesederhaan, tidak glamour dan
bersifat hura-hura semata. Ada titik persamaan antara penyelenggaraan 17
Agustus dengan puasa ramadhan dalam perjuangannya. Kalau kemerdekaan 17 Agustus
itu dicapai dengan pengorbanan tumpahan darah dan air mata para pahlawan bangsa
dalam mewujudkan Indonesia merdeka ini, melawan para penjajah. Maka puasa juga
memerlukan perjuangan dan pengorbanan untuk bisa mencapai derajat orang-orang
yang bertaqwa. Orang yang berpuasa itu sedang berjuang untuk melawan hawa
nafsunya terhadap kenikmatan duniawi, makan dan minum pada siang hari. Dan
orang yang berpuasa itu sedang mengorbankan syahwat duniawiyah untuk berlaku jujur dan tidak
membohongi dirinya sendiri, dengan sengaja makan dan minum pada siang harinya.
“Maka apabila seseorang kamu berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan jangan
pula berkata kasar. Jika seseorang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah
ia mengatakan: “Saya sedang berpuasa.”[1]
Yang diperlukan dalam sistem
negara kita adalah pemimpin yang jujur, yang tidak suka membohongi publik
dengan slogan-slogan jujur, bersih dan adil, yang hanya sebatas retorika
politik belaka. Perhatikan pidato-pidato para pemimpin partai politik di
televisi-televisi, sudah terbukti bersalah masih juga berkelit tidak ada fakta
hukumnya, belum ada alat buktinya dan lain sebagainya. Maka yang diperlukan
oleh bangsa ini adalah pemimpin yang jujur yang selalu mengayomi rakyatnya,
bukan pemimpin yang hanya pro dan adil pada konstituen partai politiknya saja.
Puasa, kalau memang dijalani dengan benar dan ikhlas lillahi ta’ala, akan
melahirkan para pemimpin yang benar-benar jujur. Yang tercermin keluar dalam
bentuk kejujuran hukum, untuk menghukum yang memang benar bersalah dan
membebaskan orang hukuman yang memang tidak bersalah, karena faktor x, terpaksa
dikorbankan.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS.5:8).
[1] Shahihul Bukhari, Terjemah Hadis
Shahih Bukhari Jilid II, Penerbit Fa. Wijaya Jakarta, Cetakan ketiga belas
(Edisi Khusus). Hal. 214.