ISLAM
AGAMA PERIKEMANUSIAAN
Insya Allah, akan disampaikan dalam khutbah Idul Adha di Masjid al-Barakah, Jalan
Mangga Raya Perumahan Permata Hijau Permai, 10 Dzulhijjah 1443 H / 9 Juli 2022
M.
اَللهُ أَكْبَرُ ((3x اَللهُ أَكْبَرُ ((3x اَللهُ أَكْبَرُ ((3x
اللهُ اَكْبَرْ
كَبِيْرًا, وَالحَمْدُ لِلّهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً, لاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ,وَاللهُ اَكْبَرْ ,اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ
ِللهِ الَّذِى اصْطَفَى اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَم خَلِيْلاً ، وَجَعَلَهُ
لِلنَّاسِ إِمَامًا ، إنَّهُ كَانَ صِدِّيْقاً نَبِيًّا. أشْهَدُ اَنْ لآ اِله
الاّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَه ، الّذِى لَمْ يَتَّخِذ صَاحِبَهُ وَلاَ
وَلداً ، وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه الْمَبْعُوْثُ
بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا ، وَصَلّى الله على سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى اَلِهِ
وَاَصْحَابِه بُكْرَةً وَاَصِيْلاً وَسَلّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
امّا بَعْدُ : فَيَآ
أيُّهَا النّاسُ رَحِمَكُمُ الله.. إتَّقُوااللهَ َواَطِيْعُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُوْن، وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمُ اْلعِيدِ اْلاَكْبَر.
قَدْ رَفَعَ اللهُ قَدْرَهُ وَاَظْهَره وَسَمَّاهُ يَوْمَ الْحَجِّ اْلاَكْبَر ،
فَإِنَّ الله َابْتَلَى خَلِيْلَهُ اِبْرِهِيْمَ فِيْهِ حَيْثُ اَمَرَهُ بِذَبْحِ
وَلَدِهَ فَاَمْتَثَلَ اَمْرَهُ فِيهِ ، وَلِذَا سُمِّيَ يَوْمُ النَّحْرِ
Jama’ah idul adha yang dimuliakan Allah swt. Di pagi hari
yang berkah ini, kita telah melaksanakan shalat ‘idul adha secara berjama’ah. Kita
ruku’ dan sujud sebagai manifestasi dari perasaan taqwa kita kepada Allah swt.
Kita menggemakan takbir dan tahmid sebagai pernyataan dan pengakuan atas
keagungan Allah swt. takbir yang kita ucapkan itu, bukanlah sekedar gerak bibir
tanpa arti, namun merupakan impelementasi
pengakuan dalam hati, menyentuh dan menggetarkan relung-relung jiwa kita
sebagai manusia yang beriman. Oleh
karena itu, dalam suasana hari raya ‘idul adha ini, saya mengajak kepada diri saya sendiri dan
juga kepada hadirin sekalian. Marilah kita tundukkan kepala dan jiwa kita di
hadapan Allah swt. Campakkan jauh-jauh sifat keangkuhan dan kecongkakan yang bisa
menjauhkan diri kita dari rahmat Allah
swt, sebab apapun kebesaran yang kita sandang, kita itu kecil di hadapan Allah
swt. Betapapun perkasanya, kita masih sangat lemah dihadapan Allah swt.
Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita, kita tidak berdaya di dalam
genggaman Allah swt.
Hadirin jama’ah idul adha yang dimuliakan Allah swt. Sementara
itu, jauh di Saudi Arabia, hari ini di sana, panasnya matahari membakar kulit,
debu-debu beterbangan dari jalan-jalan yang dilalui oleh jutaan jama’ah, mereka
berjalan dengan tertib, meski harus berdesak-desakkan. Pakaian putih yang
mereka kenakan, mulai terlihat lusuh dan keringat bercucuran membasahi wajah, tapi,
tidak menyurutkan langkah mereka. Jutaan
manusia itu sudah bergerak sejak jumratul ‘ula, jumratul wustho’ sampai
jumratul ‘aqobah. Terlihat dengan jelas,
secara bersamaan, tangan-tangan jama’ah terangkat ke langit dengan batu-batu
kecil terlempar ke udara, tangan-tangan itu terangkat serentak, seperti sebuah
konfigurasi, menjadi gerakan bersama membentuk
energi gerak. Di mina saat itu, terdengar suara takbir dan tahmid bergemuruh.
Tidak begitu jauh dari Mina, terdapat ‘Arofah, sebuah tempat yang terbentang
luas dengan hamparan pasir dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Pada
tanggal 9 dzulhijjah itu, mereka
berkumpul dengan aneka bahasa dan kulit yang berwarna rupa, karena berlainan
negara, mereka disatukan oleh keyakinan dan akidah yang sama, yaitu“tauhid” kepada
Allah swt. Di pagi hari tanggal 9 dzulhijjah itu, sebagian dari jama’ah ada
yang berjalan-jalan, sekedar melihat-lihat
pemandangan dan sebagian lain mendaki Jabal Rahmah untuk sekedar mengenang
momentum pertemuan antara Nabi Adam as dengan siti Hawa. Jama’ah haji dengan
pakaian putih membalut tubuhnya itu, mereka berkumpul di ‘arofah seakan-akan sedang menghadiri konferensi umat Islam
sedunia yang berasal dari berbagai belahan negara.
وَاَذِّنْ
فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ
مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ ۙ
Artinya:“(Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji,
niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta
kurus, yang datang dari segenap penjuru
yang jauh.”(QS.Al-Hajj(22)ayat27). Ketika
matahari mulai bergeser di atas kepala mereka, dan adzan dzuhur mulai dikumandangkan,
seluruh jama’ah haji yang berjumlah jutaan itu menghentikan kegiatannya, meeka
sujud dan ruku menghadap baitullah, kemudian terdengar suara takbir dan tahmid
bergemuruh memenuhi ruang angkasa. Mulut-mulut jama’ah yang semula berbicara
dengan ragam bahasa yang berbeda, kini bersuara sama, mereka melafalkan bacaan
yang sama. Pada saat itulah, kata Nabi saw, “Allah swt turun ke langit dunia
dan membanggakan jama’ah haji di hadapan para malaikat-malaikatnya.” Dalam
hadis lain, Rasulullah saw bersabda“Jika hari Arafah datang, Allah swt turun menuju langit dunia. Dia berfirman kepada para malaikat:"Lihatlah
hamba-hambaku itu. Mereka mendatangiku dalam keadaan rambut acak-acakan, penuh
dengan debu, dan datang dari segala penjuru bumi. Aku bersaksi kepada kalian, bahwa
aku telah mengampuni mereka. Malaikat
berkata: “Ya Allah, di antara mereka ada si pulan yang suka menuduh
dengan tuduhan buruk dan selalu melakukan perbuatan haram. Demikian pula dengan
si pulan dan pulanah. Lalu Allah menjawab, seraya berfirman:“Aku telah
mengampuni mereka." Rasulullah saw
bersabda "Tidak ada hari yang lebih banyak orang dibebaskan dari api
neraka selain hari Arafah." (HR
Jabir ra). Kemudian Rasulullah saw
bersabda lagi. “Pada hari ‘arafah, pintu-pintu langit dibuka, doa-doa akan
dikabulkan, suara-suara mengeluarkan gemuruhnya, berupa berbagai harapan dengan bahasa yang
beragam. Kemudian Ruh al-Amin pun
turun dengan pasukan dalam jumlah yang besar dan kenikmatan terhadap orang yang
melakukan haji. "Kenikmatan itu untuk mereka yang melaksanakan haji,
bertalbiyah, melaksanakan umroh, tawaf di baitullah dan mencium hajar aswad."
‘Arafah
adalah tempat para nabi, para wali orang-orang suci, para syuhada dan
orang-orang saleh menginjakkan kaki mereka. Arafah adalah lapangan luas tempat
Allah swt memberikan kabar gembira kepada nabinya dan umat Muhammad akan
kesempurnaan agama dan kenikmatannya. Kemudian turun wahyu surat
Al-Maidah(5)ayat3.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
Artinya: "Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan
telah Aku ridhoi Islam itu jadi agamamu."
Ayat ini
turun pada hari Jumat di hari Arafah, tepatnya adalah setelah waktu Ashar pada
saat haji wada, pada tahun ke 10 hijriah,
pada saat itu Rasulullah saw sedang di Arafah duduk di atas punggung unta
beliau. "Kaki unta itu hampir saja
patah disebabkan beratnya beban karena turun ayat tersebut”.
Allahu akbar (3x) walillaahil hamd. Hadirin jama’ah idul adha yang
dimuliakan Allah swt. Seperti itulah gambaran wukuf di ‘arofah, dan itulah
puncak ibadah haji. Di saat itulah, suasana kebatinan para jama’ah haji begitu
terasa, tidak jarang di sela-sela suara gemuruh talbiyah, terdengar suara isak
tangis jama’ah, yang menyadari kesalahan dan dosa-dosanya yang pernah mereka
lakukan. Ibnu Musayyab meriwayatkan,bahwa Aisyah ra pernah berkata
"Rasulullah SAW bersabda:"Tidak ada suatu hari di mana Allah paling
banyak membebaskan hambanya dari api neraka selain hari Arafah. Pada hari itu adalah
mendekati hambanya dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat, seraya
berfirman. (lihatlah para malaikat-Ku) Apa yang dikehendaki para hambaKu ini. (HR.Muslim).
Hadirin jama’ah idul adha yang dimuliakan Allah swt. Idul
adha merupakan hari raya yang sangat istimewa bagi umat islam, karena ada dua
ibadah agung yang dilaksanakan pada hari raya ini, yaitu ibadah haji dan ibadah
qurban, keduanya disebutkan di dalam al-Qur’an, sebagai salah satu syiar Allah
swt yang harus dihormati dan diagungkan.
ذٰلِكَ
وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
Artinya:“Demikianlah (perintah Allah). Siapa yang mengagungkan
syiar-syiar Allah. Sesungguhnya hal itu termasuk dalam ketakwaan hati.”(QS.Al-Hajj(22)ayat32). Idul
adha yang sedang kita rayakan ini, di dalamnya ada ‘ibrah’, ada pelajaran, dalam rangka mengingat kembali pengalaman Nabi
Ibrahim as, yang berjasa dalam mengembangkan paham monoteisme atau ‘tauhid’,
yaitu mengesakan Allah swt dalam kesatuan umat dengan segala bentuk
pengorbanannya. Berkurban menyembelih binatang itu sendiri bertujuan sosial,
yaitu memberi makan dengan daging kurban kepada orang-orang miskin. Maka di
kalangan kaum sufi, terdapat sebuah cerita yang menggambarkan tentang haji
mabrur. Konon, ada sepasang suami istri, yang tidak terlalu kaya, bersusah
payah menabung untuk pergi haji. Saat pergi haji tiba, mereka mengadakan
perjalanan ke Mekah dengan berjalan kaki dan naik unta. Ketika melewati sebuah
kampung yang sangat miskin, mereka menyaksikan adanya anak-anak kecil terkena
busung lapar. Tak urung suami istri pun iba dan akhirnya memberikan semua bekal
kepada orang di kampung itu. Bagi mereka, haji merupakan perintah Allah swt,
tetapi kepentingannya hanya untuk mereka
berdua. Sementara ada orang satu kampung yang menurut mereka lebih
membutuhkan, maka tabungan bertahun-tahun itu pun mereka berikan untuk
menolong. Dengan sendirinya, mereka
berdua tidak jadi pergi haji, lalu pulang kembali ke rumah. Sesampainya di
rumah, ternyata sudah ada orang yang tidak dikenal menunggu. Setelah memberi
salam, orang itu mengucapkan, “Selamat datang dari haji yang mabrur!”. Suami
istri itu protes, karena keduanya tidak merasa pergi haji, mengingat semua
ongkos perjalanan sudah mereka berikan kepada orang yang lebih membutuhkan.
Orang tak dikenal itu berkata, “Itu haji mabrur!”. Ia pun menghilang. Ini
memang sebuah cerita, yang boleh jadi hanya cerita belaka. Tetapi ada pesan
moral dibalik cerita ini, yang menyampaikan bahwa sebenarnya yang lebih penting
adalah memperhatikan kemanusiaan, dan itu yang harus menjadi tujuan dari ibadah
pergi haji. Haji mabrur tidak menyangkut masalah teknis, melainkan ruhani,
yaitu kemampuan menangkap makna terdalam dari agama, yakni pesan-pesan
kemanusiaan. Apakah haji mabrur itu? Dalam sebuah hadis shahih disebutkan bahwa
“Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga.” Haji mabrur merupakan
sesuatu yang sangat berharga dan karena
itu menjadi tujuan setiap orang yang beriman. Biasanya pertanyaan apa
sebenarnya haji mabrur itu dijawab dengan--haji yang memenuhi segala
persyaratan fikih! Artinya dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Dilihat dari segi bahasa, mabrur berarti
baik. Ini mengacu kepada perkataan orang Arab untuk yang baik-baik itu adalah
al-birru, misalnya berbuat baik kepada kedua orang tua istilahnya adalah
“birrul walidayn”. Kata birru ini
misalnya, dipakai dalam al-Qur’an
surat Ali ‘Imran(3)ayat92,
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗ
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang
sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.” Ayat
ini tegas sekali, bahwa apa yang disebut dengan kebajikan itu adalah kepedulian
sosial. Ajaran Islam sendiri memang dirancang untuk memperkuat hubungan pribadi
dengan Allah swt dan sekaligus memperkuat aspek konsekuensinya, berupa hubungan baik dengan sesama manusia.
Contoh selain haji, misalnya, perintah tentang
shalat, yang selalu terkait dengan perintah zakat. Ayat mengenai shalat dan zakat
selalu bergandengan seperti,
وَاَقِيْمُوا
الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ
Artinya:"Tegakkanlah
salat, tunaikanlah zakat.”(QS.Al-Baqarah(2)ayat43) atau
di dalam surat yang lain, Allah swt berfirman:
وَالَّذِيْنَ
اٰمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ
Artinya: “dan orang-orang yang beriman yang menegakkan salat dan
menunaikan zakat.”(QS.Al-Ma’idah(5)ayat55). Baik dalam
bentuk perintah maupun dalam bentuk deskripsi, mengenai orang-orang beriman, perintah
shalat selalu dikaitkan dengan perintah zakat. Keterkaitan hubungan pribadi
dengan Allah swt dan aspek konsekuensinya berupa hubungan baik dengan sesama
manusia, juga tercermin dalam makna
shalat itu sendiri, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri
dengan salam. Takbiratul ihram adalah takbir sebagai lambang
pengharaman semua kegiatan selain ingat kepada Allah swt, atau yang dalam
istilah lain sering disebut hablum minallah, hubungan baik dengan Allah
swt sebagai lambang dari iman, taqwa dan sebagainya. Sedangkan salam,
dengan anjuran menengok ke kanan dan ke kiri, merupakan lambang ajaran kebajikan, bahwa kalau kita benar di dalam shalat kita, maka
kita harus mempunyai perhatian kepada masyarakat di sekeliling kita. Istilah
yang sering dipakai untuk menyebut ini adalah hablum minannas, hubungan baik
dengan sesama manusia, yang merupakan
lambang dari amal shaleh, yang wujud keibadatannya adalah berupa mengeluarkan
zakat dan bersedekah. Begitu juga
dengan idul adha ini, kita diperintahkan untuk mengingat kembali pengalaman
Nabi Ibrahim as yang sangat berjasa dalam mengembangkan paham monoteisme atau tauhid, mengesakan Allah swt dalam kesatuan umat
dengan segala pengorbanannya. Salah satu pengorbanan Nabi Ibrahim as adalah, ketika ia diperintahkan Allah swt menyembelih
anaknya tercinta, Isma’il, seorang anak yang kehadirannya lama dinantikan
sampai Nabi Ibrahim as berusia tua. Tetapi tiba-tiba, setelah anaknya cukup
dewasa, Allah swt memerintahkan supaya ia disembelih, dikorbankan sebagai ujian
dari Allah swt. Setelah Nabi Ibrahim as betul-betul ingin mencoba melaksanakan
perintah Allah swt, mempasrahkan dirinya dan Ismail ditelentangkan, kemudian
hampir saja Nabi Ibrahim as memotong leher anaknya, kemudian ditegur oleh Allah
swt, seraya berfirman:
فَلَمَّآ
اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ قَدْ
صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Ketika keduanya
telah berserah diri dan dia (Ibrahim) meletakkan pelipis anaknya di atas
gundukan (untuk melaksanakan perintah Allah), Kami memanggil dia, “Wahai
Ibrahim, sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.As-Saffat(37)ayat103-105).
Inilah ‘hablum minallah”, yaitu mencintai Allah swt di atas
segala-galanya. Jadi berkurban menyembelih binatang merupakan tindakan simbolik
mencontoh Nabi Ibrahim as dan menirunya dalam menghayati hubungan yang setia
dan mendalam secara vertikal dengan Allah swt.
Meskipun demikian, al-Qur’an mengingatkan bahwa yang sampai kepada Allah
swt itu bukanlah darah atau daging kurban itu, melainkan taqwa yang ada di
dalam dada.
لَنْ
يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى
مِنْكُمْۗ
Artinya:“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak
akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.”(QS.Al-Hajj(22)ayat37).
Secara keseluruhan, ibadah haji berdimensi vertikal dan horisontal
sekaligus. Pada kenyataannya bahwa, sebagian besar ritual ibadah haji adalah
tindakan-tindakan memperingati pengalaman Nabi Ibrahim as, siti hajar, dan Nabi
Ismail as. Ketiga orang inilah yang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar
tauhid atau monoteisme itu. Maka, sebenarnya, dimensi ibadah haji yang
utama adalah vertikal tetapi efek yang diharapkan darinya sangat horizontal.
Inilah yang dimaksudkan dalam haji mabrur: adanya keterkaitan antara segi
vertikal (hablum minallah) dalam ibadah, dengan segi horizontal (hablum
minannas) dalam kerja-kerja kemanusiaan. Ajaran agama, kalau coba divisualisasikan, akan berbentuk kerucut yang puncaknya adalah
perikemanusiaan. Ini juga yang merupakan puncak dari seluruh pengalaman Nabi
saw dalam berhaji, yang beliau lakukan satu kali, seperti terlihat dalam pidato
perpisahan di ‘Arafah, yang kemudian dikenal sebagai Khuthbatul Wada’
(Pidato Perpisahan). Pidato ini merupakan salah satu peristiwa puncak dalam
sejarah Islam. Bahkan, kalau dicermati secara lebih mendalam, pidato tersebut
berisi tentang perikemanusiaan. Oleh karena itu, keberhasilan kita memahami dan
menangkap makna dan semangat pidato perpisahan itu, adalah bagian sangat penting dari usaha kita
memahami dan menangkap pesan-pesan kemanusiaan. Sebaliknya, kegagalan kita dalam
memahami hal itu, akan sama, dengan
kegagalan menangkap bagian yang sangat
sentral dalam ajaran agama Islam, yang bahkan dapat menjerumuskan
seorang pemeluk agama kepada praktik keagamaan yang kering, tanpa makna
kemanusiaan, dan karena itu juga berarti tanpa makna pesan-pesan Ketuhanan yang
paling mendalam; di dalam keberagamaan, selalu ada kaitan organik antara segi vertikal
dalam ibadah, dengan segi horizontal
dalam kerja-kerja kemanusiaan. Dalam pidato perpisahan itu, pertama-tama Nabi saw
menegaskan bahwa manusia mempunyai hak azasi. “Wahai sekalian umat manusia,
tahukah kamu dalam bulan apa kamu ini?” Mereka menjawab, “Kita semua ada dalam
hari yang suci, bulan yang suci, dan tanah yang suci.” Nabi melanjutkan, “Oleh
karena itu ingatlah bahwa hidupmu, hartamu, dan kehormatanmu itu suci seperti
sucinya hari dan bulanmu ini, di negeri yang suci ini, sampai kamu datang
menghadap Allah swt. dan karena itu tidak boleh dilanggar.” Dalam versi lain,
kemudian Nabi bersabda sambil berteriak, “Apakah sudah saya sampaikan?” “Ya, Nabi! Engkau telah sampaikan.” “Sekarang dengarkanlah aku. Dengarkanlah
aku. Kamu akan hidup tenang. Ingatlah, kamu tidak boleh menindas orang
(diucapkan sampai tiga kali), tidak boleh berbuat zalim kepada orang lain, dan
harta seseorang itu tidak boleh diambil orang lain kecuali dengan cara suka
rela!”. Setelah menyampaikan khutbah ini, sore harinya turun perintah Allah swt
QS. Surat Al-Maidah (5) ayat 3 :
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
Artinya: "Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan
telah Aku ridhoi Islam itu jadi agamamu."
Allahu akbar (3x) walillaahil hamd. Hadirin jama’ah idul adha yang
dimuliakan Allah swt. Dari sini jelas, bahwa sudah sejak dini, agama Islam menanamkan
nilai-nilai harkat kemanusiaan. Maka
tidak aneh, kalau dalam dokumen-dokumen
mengenai renaisans, orang-orang barat itu,
mengetahui penghormatan manusia justru dari agama Islam. Pada zaman renaisans, di barat dulu, ada seorang failasuf, pemikir kemanusiaan yang
berasal dari Italia, bernama Giovanni
Pico Della Mirandola, ketika dimintai berorasi ilmiah, dihadapan para jemaatnya,
ia mengatakan, ia mengetahui tentang harkat dan martabat manusia, sesungguhnya dari
orang-orang Arab Muslim. Kata dia,“adalah seorang bernama Muhammad bin Abdullah
ketika ditanya tentang apa yang paling dihormati di muka bumi, Muhammad menjawab
"Manusia adalah mahluk Tuhan yang tertinggi". Setelah itu Giovanni Pico
Della Mirandola, kemudian menguraikan paham kemanusiaannya yang ia dapatkan dari
ajaran agama Islam, yaitu tentang nilai-nilai kemanusiaan. Dari pidato Nabi saw
ini, jelas bahwa puncak dari keagamaan adalah nilai perikemanusiaan. Nilai itulah
yang harus ditangkap, ketika orang Islam pergi haji, dan haji itu tidak lain
merupakan bentuk kemanusiaan universal, karena semua orang Islam, di dalam
berhaji, kaya miskin, tua muda, laki perempuan, hitam putih, tidak ada bedanya.
Haji merupakan ritus keagamaan yang sangat tegas menekankan tentang masalah
persamaan hak azasi manusia. Haji adalah
drama kemanusiaan yang luar biasa, dan makna ini harus bisa ditangkap, yaitu
pesan-pesan perikemanusiaannya, karena hanya dengan begitulah haji kita nanti, akan
menjadi haji yang mabrur, dan,oleh karena begitu pentingnya isi pidato
perpisahan Nabi saw ini, maka Nabi saw berpesn kepada yang hadir itu untuk
menyampaikan pesannya kepada yang tidak hadir, dan setelah itu, selang 80 (delapan
puluh) hari kemudian, setelah melakukan haji
wada, beliau wafat. Mengahiri renungan
khutbah idul adha pagi ini, mari kita ikuti jejak pengorbanan yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim as, siti hajar dan Nabi Ismail as. Kita gelorakan semangat berkurban
sambil menggelorakan semangat perikemanusiaan dalam membangun masyarakat yang berperadaban,
dalam bingkai, ukhwah basyariyah, ukhwah wathaniyah dan ukhwah
Islamiyah, sehingga tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dilandasi dengan semangat "baldatun thoyyibatun warabbun ghafur". Demikian khutbah idul adha ini, saya tutup
khutbah ini, dengan membaca surat
al-Kautsar(108)ayat1-3
أَعٌوْذٌ باِلّله ِمنَ
الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ . بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ
الْكَوْثَرَۗ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ ࣖ
Artinya: "Sesungguhnya
Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak. Maka, laksanakanlah
salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!Sesungguhnya orang yang membencimu,
dialah yang terputus (dari rahmat Allah)."
باَ رَكَ اللهُ لِيْ
وَلَكُمْ فِي الْقُرْأنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَاِياكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ
الأياتِ وَالِّذكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقبَّلْ مِنّيِ وَمِنْكُمْ تِلاَ وَتَهُ اِنَّهُ
هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليْ هَذأ وَأَسْتَغْفِرُاللهَ
الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِماتِ وَالْمؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْ مِناتِ فأستَغْفِرُوه اِنَّهُ هُوَ الْغَفُرُ الَّرحِيْمُ