Jumat, 03 Mei 2013
HARI PENDIDIKAN NASIONAL
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
(QS. An-Nahl/16: 78)
Setiap
tanggal 2 Mei, biasanya bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Tanggal 2 Mei dipilih sebagai Hardiknas karena berkaitan
dengan kebangkitan nasional di era kemerdekaan dahulu.
Ada
sebuah pepatah mengatakan; “Jika kita ingin melihat kemajuan suatu negara, maka
lihatlah sistem pendidikannya.” Mari kita lihat! Eropa maju karena
pendidikannya, kemajuan pendidikan di Eropa tidak boleh dilupakan karena
sumbangan besar dari dunia islam ketika terjadi perang salib antara bangsa Arab
yang notabene-nya mewakili islam dengan Eropa yang mewakili agama
Nasrani. Dalam perang salib tersebut, bangsa Eropa berhasil merampas dokumen-dokumen penting
yang dimiliki umat islam. Hampir sebagian besar buku-buku pengetahuan penting
diboyong ke Eropa, dan sebagian kecilnya dibakar dan dimusnahkan, abu dari
sisa-sisa pembakarannya dibuang ke laut, sehingga laut Arab waktu itu, konon,
menghitam pekat, akibat dari abu pembakaran dari buku-buku pentingnya umat
islam. Pasca peristiwa perang salib ini, bangsa Arab kehilangan api
pengetahuan, sedangkan bangsa Eropa mengalami kemajuan yang sangat luar biasa,
dan dunia islam akhirnya mengalami kemunduran yang efeknya sangat terasa sampai
saat ini.
Di
Jepang, pasca Hiroshima dan Nagasaki di bom atom oleh sekutu dalam perang dunia
I, nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan dan ekonomi di negara sakura itu lumpuh
total, tak ada yang tersisa. Lalu dengan semangat bushido, Kaisar Jepang,
mengumpulkan orang yang masih tersisa hidup, terutama para pendidik, untuk
mengembalikan moral masyarakat Jepang, dan mengajari para generasi berikutnya dengan nilai-nilai
samurai nenek moyang mereka. Akhirnya, Jepang menguasai ekonomi dunia saat ini,
berawal dari kebangkitan pendidikannya.
Malaysia,
sekitar tahun 1970-an, adalah masyarakat masih terbelakang dengan dunia
pendidikan, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Rangking pendidikannya jauh di bawah Indonesia saat itu. Sehingga pada
akhirnya, Mahattir Mohammad, presidennya waktu itu, mengirimkan para praktisi
dan pemerhati pendidikannya untuk belajar langsung ke Negara Indonesia. Maka
pada tahun-tahun itu, jika kita lihat, hampir semua universitas-universitas
ternama di Indonesia, kalau tidak sebagian besar, diisi oleh bangsa Melayu yang
berasal dari negeri jiran Malaysia. Mereka menimba ilmu, di universitas
Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, universitas
Gaja Mada, dan universitas-universitas lain yang ada di Indonesia. Sekarang,
hampir 50 tahun berlalu, Malaysia, jauh mengungguli Indonesia dalam
pendidikannya. Bahkan saat ini, banyak orang .
Belajar
dari studi kasus di atas, dengan melihat
parameter kemajuan sebuah negara, maka tak dapat dipungkiri, sebuah negara akan
maju, apabila peduli dan Concern terhadap pendidikan.
Di
Indonesia, kurang lebih 68 tahun Indonesia merdeka, kita melihat, seakan-akan
dunia pendidikan kita, bukannya malah maju, tapi mundur ke belakang. Ironi
memang, ketika dunia serentak mengedepankan pendidikan, kita masih diliputi
oleh problem-problem kecil yang lama-lama makin membesar, seperti sebuah
fenomena gunung es, puncaknya saja yang terlihat, tetapi jauh didasarnya
problema-problema pendidikan begitu besar. Carut-marutnya pelaksanaan Ujian Nasional
oleh pemerintah merupakan sebagian kecil problema itu yang belum terurai.
Eksekusi kurikulum 2013 masih dipertanyakan, seakan-akan Indonesia masih
mencari bentuk ideal, sebuah kurikulum, yang setiap tahun selalu berubah dan
terus berubah, sehingga menimbulkan femeo; ganti menteri pendidikan maka ganti
juga kurikulum pendidikannya.
Di
bagian pedalaman Indonesia, di hutan Jambi misalnya, ada anak rimba yang
belajar seadanya, demi sebuah pengetahuan. Mereka begitu sederhana dan polos,
belajar berhitung dan membaca, hanya diajari oleh seorang siswa kelas 1 SMP!.
Di mana pemerintah kita, saat itu? Di Jawa, ada anak Sekolah Dasar yang masih
belajar, mohon maaf di bekas kandang kambing yang seadanya! Di Sumatra, para
anak sekolah dengan berjalan kaki menyebrangi sungai, di atas jembatan gantung
yang sudah rapuh, mereka bergelayutan, satu persatu dengan pelan sekali,
menyebrangi sungai, agar bisa sampai di sekolah dengan tepat waktu. Di Padang
Pariaman, dengan menyebrangi lumpur, para siswa SMP bertentengan sepatu,
berjalan kaki, lumpur mengotori kaki dan celana-celana mereka, tetapi semangat
mereka untuk belajar patut diacungi jempol!
Di
Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan sekitarnya, masih saja didapati
kecurangan-kecurangan dalam ujian nasional. Kita lebih mementingkan hasil
ketimbang proses. Maka tidak aneh, kalau dikemudikan harinya, para anak didik
kita, ketika mereka menjadi “seseorang” yang sukses, katakanlah pejabat!.
Mereka terbiasa mendahulukan hasil dari pada prosesnya. Maka budaya suap, korupsi,
main curang, mengumpat, saling menjegal di antara kawan, seakan menjadi biasa.
Inilah hasil dari pendidikan kita, diakui ataupun tidak, guru telah mengambil
peran significant bagi pembentukan karakter-karakter endemik di atas.
Bangsa Indonesia dibodohkan dengan angka-angka tinggi di atas kertas, tetapi
mengesampingkan how to teach, atau prosesnya. Maka menjadi wajar,
apabila kian hari, pendidikan Indonesia berjalan mundur ke belakang.
Korupsi
yang hampir melanda seluruh sendi-sendi berkehidupan dan bernegara di
Indonesia, adalah merupakan produk dari sebuah pendidikan yang “carut marut”.
Maka diperlukan keberanian dan tekad yang kuat, agar tercipta sistem pendidikan
yang mampu menjadi obor dan pelita bukan yang membutakan mata dan hati kita. Kalau
kita membiarkan saja “pesakitan” sistem pendidikan sekarang, maka ibarat sebuah
penyakit hati, Allah swt akan menambah-nambah penyakit itu, sebagaimana firman
Allah swt;
“Dalam hati mereka ada penyakit[1],
lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan
mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah/2: 10)
Maka
dalam konteks ayat di atas, dibutuhkan kejujuran dalam pendidikan. Pendidikan
yang jujur adalah pendidikan yang mengedepankan proses transformasi nilai-nilai
bukan pendidikan yang lebih mementingkan outcome-nya saja dengan
menafikan prosesnya. Pendidikan jujur adalah pendidikan yang lebih mementingkan
pembentukan karakter berani, berdisiplin, tangguh dan cerdas. Yang berorientasi
jauh kedepan bukan hanya sesaat ini saja. Dan pendidikan jujur adalah
pendidikan yan berani mengorbankan kepentingan “pribadi” dan “golongan” demi
kemajuan dan cita-cita anak negeri yang berhasil bukan hanya di dunia ansich
tetapi juga akherat sebagai terminal akhir dari tujuan hidup kita.
Mudah-mudahan, Amin!. Wallahu a’lamu bi showab.
[1]
Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran
Nabi Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian,
iri-hati dan dendam terhadap Nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam.