Selasa, 18 Februari 2014
PERUBAHAN MASYARAKAT
Dalam dua abad telah terjadi perubahan besar pada umat manusia,
yaitu peralihan sejarah dari zaman agraris ke zaman teknis. Namun perubahan
yang sudah terjadi, benar-benar masih terbatas kepada dunia Barat, khususnya
Eropa barat laut dan keturunan mereka di Amerika Utara dan Australia, namun
dampaknya meliputi seluruh muka bumi, kecuali daerah-daerah yang sangat
terpencil saja.
Memang zaman teknis atau disebut juga technical age sekarang
ini, masih tetap merupakan kelanjutan zaman sebelumnya, yaitu zaman agraris
yang sudah dimulai oleh bangsa Sumeria di lembah Furat-Dajlah atau
Eufrat-Tigris, Mesopotamia, yaitu Irak sekarang ini. Tetapi secara radikal berbeda dengan zaman
agraris ini, zaman teknis atau yang sering disebut zaman modern mengenal pola perubahan menurut
garis deret ukur atau perkalian, sedangkan dalam zaman agraris pola perubahan
itu menurut garis deret hitung atau pertambahan. Hal ini perlu disadari untuk
memahami hakekat perubahan dahsyat yang kini sedang kita alami.
Negara Indonesia, berada dalam kondisi perubahan yang amat khusus,
yaitu pertama, dalam kaitannya dengan perubahan mondial, negeri ini
sedang berubah dari pola masyarakat agraris ke masyarakat teknis. Kedua,
perubahan itu secara sengaja dan sadar dipacu dan didorong untuk dapat terjadi
secepat-cepatnya dan sebebar-besarnya, dan inilah kenyataan asasi reformasi.
Karena itu, kenyataan perubahan sekarang ini harus dihadapi sebagai
“given” dan harus ditetapkan “strategi” untuk menghadapainya. Setiap
perubahan sosial, adalah juga berarti perbenturan pola-pola hidup social
tertentu dan perubahan ini tidak bisa tidak, tentu akan mengakibatkan berbagai
krisis pada berbagai tingkat kehidupan. Contohnya, perang saudara di Amerika
Serikat pada abad yang lalu, yang merupakan perbenturan antara utara yang
industrial atau teknis dan selatan yang pertanian atau agraris.
Zaman teknis muncul di Barat melalui proses yang panjang dan
landai, yaitu sejak zaman renaissance akibat perkenalan Barat dengan peradaban
Islam, diteruskan ke zaman pencerahan yang bukti-buktinya semakin banyak juga
merupakan akibat perkenalan dengan Islam lebih lanjut, khususnya di bidang
pandangan keagamaan dan kemanusiaan,
lalu zaman teknis itu sendiri dengan titik awal di Inggris. Karena
prosesnya yang panjang dan landai itu, maka krisis yang diderita oleh Barat
akibat perubahan zaman di sana terbentang dalam waktu yang panjang pula dan
secara nisbi tidak mengagetkan, ini tidak berarti dalam bentuk-bentuk
tertentunya tidak mengerikan, seperti terjadinya perang-perang keagamaan yang
berkepanjangan dan juga PD I dan II.
Maka dibandingkan dengan pengalaman Barat itu, pengalaman krisis
kita, dapat lebih mengagetkan atau shocking dengan dampak yang lebih berat.
Sebab perubahan kita dari masyarakat agraris ke pola masyarakat industry adalah
“mendadak” tanpa pendahuluan seperti di Barat.
Sementara itu, jika kita gunakan sudut pandang Alvin Toffler, yang
menggunakan istilah “gelombang”, bangsa Indonesia sekarang ini, seperti juga
bangsa yang lainnya, sedang mengalami perbenturan tiga gelombang secara
sekaligus; yaitu perbenturan antara pola hidup sosial agraris sebagai gelombang
pertama dengan pola hidup sosial industrial sebagai gelombang kedua, ditambah
dengan mulai tumbuh dan berkembangnya pola hidup sosial zaman informatika di
kota-kota besar. Oleh karena itu, dampak krisis yang timbul juga lebih besar
dari pada yang terjadi di Barat.
Mengingat hal-hal tersebut, perhatian harus diarahkan kepada
sebesar-besarnya krisis akibat perubahan sosial yang ada disekitarnya. Defrivasi
relatif, yaitu perasaan teringkari, terjauhi dari orang dan kalangan
tertentu dalam masyarakat akibat tidak dapat mengikuti laju perubahan dan
kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Dislokasi yaitu
perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Dalm
wujudnya yang amat nyata, dislokasi ini dapat dilihat pada krisis-krisis yang
dialami kaum marginal di kota-kota besar akibat urbanisasi. Disorientasi,
yaitu perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat yang ada selama ini tidak
lagi dapat dipertahankan karena terasa tidak cocok. Disorientasi ini membuat
yang bersangkutan sulit mengenali diri sendiri atau kehilangan identitas.
Perubahan masyarakat akan mendorong orang yang mengalami krisis-krisis tersebut
kea rah pandangan yang serba negative kepada susunan mapan, dengan sikap-sikap
tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan, dan sebagainya. Maka perubahan
social dengan krisis-krisis yang ditimbulkannya itu, jika tidak ditangani
dengan baik akan menciptakan lahan yang subur bagi gejala-gejala seperti
radikalisme, fanatisme, sektarianisme, fundamentalisme, eksklusivisme, seperti
sudah mulai kita lihat tanda-tandanya sekarang ini.
Maka yang diperlukan pada masa-masa peralihan masyarakat besar
seperti sekarang ini ialah; pertama, pengertian secukupnya akan hakekat
perubahan sekarang ini dalam dimensi globalnya. Ini penting dan banyak sekali
hal-hal yang terjadi di Tanah Air sesungguhnya merupakan kelanjutan, atau
mempunyai keterkaitan dengan apa yang terjadi di dunia secara keseluruhan. Jika
kita bicara tentang demokrasi, keadilan social, pemerintahan yang bersih,
keharusan memberantas korupsi, misalnya, kita sesungguhnya juga bicara tentang
nilai-nilai yang diterima, dipahami, dihayati dan dicoba laksankan di mana saja
di dunia, sehingga dengan sendirinya menimbulkan berbagai bentuk keterkaitan.
Maka dari itu, kita harus dapat mengantisipasi adanya sikap seperti “ikut
campur” tertentu dari dunia internasioanl, yang sesungguhnya banyak atau jelas
tidak semua, dari hal itu menunjukkan kepedulian yang positif, meski ada juga
kemungkinan ikut campur.
Kedua, pengertian yang cukup lengkap tentang budaya sendiri, sehingga
dapat diduga, atau malah mengetahui secara lebih persis, titik-titik singgung
antara pola budaya nasional dengan pola budaya global itu. Persinggungan antara
segi-segi tertentu budaya nasioanl dengan pola budaya globa, dalam kerangka
perubahan masyarakat, boleh jadi akan menghasilkan pola kontak yang simbiosis,
saling mendukung dan saling menguntungkan, tapi juga boleh jadi mengakibatkan
perbenturan yang menimbulkan krisis-krisis. Maka pengetahuan tentang
titik-titik singgung ini diharapkan dapat menjadi antisipasi atas krisis yang
muncul akibat perubahan masyarakat yang cepat dan besar itu.
Ketiga, akomodasi positif kepada perubahan, karena perubahan itu sendiri
adalah suatu kemestian. Sikap ini dapat diwujudkan dengan mengembangkan pada
diri pemimpin dimasa ini sikap terbuka, menghargai pendapat lain, bebas,
berpikir positif, inklusivistik atau bersemangat persatuan dan kesatuan,
demokratis dan sedapat mungkin, “predictable”, sehingga terbina hubungan
loyalitas yang positif dan tulus karena dilandasi semangat partisipasi.